SELAMAT DATANG di blog ESTUBIZI Business Center | Business & Leisure. Tersedia layanan (klik pilihan Anda): seminar & training services | meeting services | serviced office | coworking space | VOTE: virtual office
Silakan hubungi: 021-5290.5299 [Kuningan] | 021-2751.5225 [Wolter Monginsidi] | whatsapp/line: 0821.2400.6088 | Twitter: @estubizi | email: marketing@estubizi.com | www.estubizi.com

Kamis, 07 Oktober 2010

Resensi Buku: "Raja Na Pogos"


RESENSI BUKU “RAJA NA POGOS”
Karya: J. P. Sitanggang


Ketika Orang Batak merantau, ada banyak kisah dapat dituliskan dan ada banyak cerita dapat dituturkan. J. P. Sitanggang, sebagai Orang Batak yang aktif dan energik, ia berangkat dari “ketidaktahuannya” untuk mengenal lebih dekat dan lebih dalam; J. P. Sitanggang mencari tahu tentang Adat dan Budaya Batak.

Buku "Raja Na Pogos" adalah sebuah buku populer mengenai Adat dan Budaya Batak yang ditulis oleh J. P. Sitanggang. Tidak banyak buku mengenai Adat dan Budaya Batak yang ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami dan dinikmati selayaknya membaca novel. 
Halak Batak, demikian sebutan akrab untuk Orang Batak, adalah masyarakat yang suka hidup berpetualang dan pekerja keras, tidak suka bermalas-malasan. Dimana pun ia merantau, amat jarang kita melihat Orang Batak berpangku tangan menikmati hidup selagi ada hal yang harus ia kerjakan. 

Silsilah orang Batak dimulai dari Aji Tantan Dewata, yang memperanakkan Singaraja Batak, yang menurut legenda turun dari langit dan sampai di Gunung Pusuk Buhit. Salah satu anaknya, yaitu Silo Nabolon melahirkan Siraja Batak yang menjadi leluhur Orang Batak. Anak Siraja Batak adalah Lontung dan Isumbaon. Kini Orang Batak adalah kelompok etnis keempat terbesar Indonesia, setelah Suku Jawa, Sunda, dan Bali.

Tulisan ini diilhami oleh suatu pengalaman di Palu, Sulawesi Tengah. Dalam suatu perjalanan menuju Donggala, penulis berpapasan dengan sebuah pick-up. Di kaca depan mobil tertulis dengan huruf besar sehingga semua sisi kaca terisi tulisan ALA NI POGOS. Penulis merenung. Pasti si pemilik seorang pengusaha danm sudah berhasil. Pengusaha yang dengan kerendahan hati dan dengan tekad yang membara, tiba dan berusaha di Sulawesi.

Teringat penulis tentang "Peta Kemiskinan" yang diekspos Harian Sinar Harapan tahun 1983. Pikiran penulis melayang ke Bona Pasogit. Miskin, Mangaranto, Panombangan, Perselisihan, Perkelahian, dan lain-lain silih berganti memasuki pikiran.

Penulis mulai menulis setelah memiliki alat tulis yang dapat dikantongi. “Kalau menulis di rumah agak sulit,” ujarnya. Jadi konsep tulisan ini dikerjakan di perjalanan. Awalnya dengan konsep judul "Ala Ni Pogos".

Dalam perkembangannya waktu diskusi dengan istri yang bertindak sebagai narasumber dan korektor, mengatakan mengapa judul Ala Ni Pogos, bukan "Raja Na Pogos". Dulu semasa mahasiswa oleh kawan-kawan dekat, penulis memang diberi gelar "Raja Na Pogos", dan benar Raja Na Pogos. Dipanggil Raja Na Pogos karena tak pernah punya duit, tetapi penampilan selalu keren. Keren karena selalu berpakaian rapi. Celana hanya dua, tetapi terbuat dari bahan yang tahan lama tidak ke cucian. Dipilih warna gelap. Baju terbuat dari bahan yang kalau dicuci dan kering langsung dapat dipakai tanpa digosok. Tetapi kalau hari Minggu ke gereja selalu berusaha memakai celana dan baju berwarna putih. Sistem ini dipakai untuk menutupi hapogoson, terutama keadaan ini harus dilakukan untuk menjaga penampilan sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

Tulisan ini memang merupakan "perjalanan hidup, yang berisikan pengalaman, pengamatan, dan rekaman dari beberapa pembicaraan dengan tua-tua". Kegigihan untuk mematahkan hapogoson penulis coba tuliskan dari pengamatan kehidupan orang-orang di sekitar kehidupan penulis, termasuk di dalamnya hakristenon ni halak Batak, mulai dari Bona Pasogit sampai ke Tano Parserahan.

Dalam tulisan ini penulis mencoba menguraikan beberapa hal mengenai acara-acara Batak yang berhubungan dengan adat dan kemasyarakatan, kegiatan yang penulis alami, penulis lihat dan yang penulis dengar. Penulis mencoba membuat hipotesa bahwa Adat Batak tak ada, yang ada adalah adat daerah-daerah Batak, katakanlah Adat Samosir, Adat Toba, Adat Humbang, Adat Silindung, Adat Mandailing, Adat Angkola, dan sebagainya.

Di setiap acara sulit kita mengatakan bahwa itu Adat Batak, karena apa yang dilaksanakan walau nama acara sama dengan yang dilakukan di tempat lain atau oleh orang lain, ternyata berbeda. Setiap menghadiri acara adat, selalu dijumpai hal yang berbeda pada kegiatan yang sama. Semua keadaan ini penulis nilai merupakan bagian dari hapogoson.

Buku ini terdiri dari lima bab yang dilengkapi dengan Daftar Pustaka dan Lampiran yang berisi catatan para sahabat dan relasi yang mengenal secara dekat pribadi dan kiprah J. P. Sitanggang. Bab 1 menguraikan tentang HalakBatak. Bab 2 tentang Adat dan Budaya, Bab 3 tentang Dalihan Na Tolu yang menguraikan filosofi hidup Orang Batak. Bab 4 tentang Perjalanan Hidup Seorang Anak Batak yang mengisahkan perjalanan hidup, karir dan petualangan J. P. Sitanggang mencari tahu tentang Adat dan Budaya Batak.

Buku ini terdiri dari 262 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Jala Permata Aksara (2010).
Selamat menikmati dan membaca Buku “Raja Na Pogos”.

Seminar Budaya Batak dan Bedah Buku “Raja Na Pogos” diselenggarakan di ESTUBIZI Business Center, Jakarta pada hari Selasa 6 April 2010. Acara ini terselenggara berkat kerja sama JALA Penerbit, Majalah TAPIAN dan ESTUBIZI Business Center.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar